Social Icons

h

Pages

Senin, 22 Juli 2013

Ayat Tasybih

II.1. AYAT TASYBIH
Mengenai ayat mutasyabih yang sebenarnya para Imam dan Muhadditsin selalu berusaha
menghindari untuk membahasnya, namun justru sangat digandrungi oleh sebagian kelompok
muslimin yang melenceng dari kebenaran dan makin banyak muncul masa kini, mereka
selalu mencoba menusuk kepada jantung tauhid yang sedikit saja salah memahami maka
akan terjatuh dalam jurang kemusyrikan, seperti membahas bahwa Allah ada di langit,
mempunyai tangan, wajah dll, yang hanya membuat kerancuan dalam kesucian Tauhid Illahi
pada benak muslimin, akan tetapi karena semaraknya masalah ini diangkat ke permukaan,
maka perlu kita perjelas mengenai ayat – ayat dan hadits tersebut.
Sebagaimana makna Istiwa, yang sebagian kaum muslimin sesat sangat gemar membahasnya
dan mengatakan bahwa Allah itu bersemayam di Arsy, dengan menafsirkan kalimat
”ISTIWA” dengan makna ”BERSEMAYAM atau ADA DI SUATU TEMPAT”. Entah
darimana pula mereka menemukan makna kalimat Istiwa adalah semayam, padahal tak
mungkin kita katakan bahwa Allah itu bersemayam disuatu tempat, karena bertentangan
dengan ayat – ayat dan nash hadits lain. Bila kita mengatakan Allah ada di Arsy, maka
dimana Allah sebelum Arsy itu ada? Dan berarti Allah membutuhkan ruang, berarti berwujud
seperti makhluk, sedangkan dalam hadits qudsiy disebutkan Allah Swt turun kelangit yang
terendah saat sepertiga malam terakhir, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim
hadits No.758, sedangkan kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir
dan waktu sepertiga malam terakhir terus bergeser ke belahan bumi lainnya.
Maka bila disuatu tempat adalah tengah malam, maka waktu tengah malam itu tidak sirna, tapi
terus berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti Allah itu selalu
bergelantungan mengitari bumi di langit yang terendah, maka semakin ranculah pemahaman
ini dan menunjukkan rapuhnya pemahaman mereka. Jelaslah bahwa hujjah yang mengatakan
Allah ada di Arsy telah bertentangan dengan hadits qudsiy diatas, yang berarti Allah itu tetap
di langit yang terendah dan tak pernah kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan
bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits qudsiy mengatakan Allah di langit yang terendah.

Berkata Hujjatul Islam Almuhaddits Al Imam Malik rahimahullah ketika datang seseorang
yang bertanya makna ayat : ”Arrahmaanu ’alal Arsyistawa”, Imam Malik menjawab :
”Majhul, Ma’qul, Imaan bihi wajib, wa su’al ’anhu bid’ah (tidak diketahui maknanya,
dan tidak boleh mengatakannya mustahil, percaya akannya wajib, bertanya tentang ini
adalah Bid’ah Munkarah), dan kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan dia..!”. Demikian
ucapan Imam Malik pada penanya ini, hingga ia mengatakannya : ”kulihat engkau ini orang
jahat”, lalu mengusirnya, tentunya seorang Imam Mulia yang menjadi Muhaddits Tertinggi
di Madinah Almunawwarah di masanya yang beliau itu Guru Imam Syafii ini tak sembarang
mengatakan ucapan seperti itu, kecuali menjadi dalil bagi kita bahwa hanya orang – orang
yang tidak baik yang mempermasalahkan masalah ini.

Lalu bagaimana dengan firman-Nya : ”Mereka yang berbai’at padamu sungguh mereka
telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS. Al Fath : 10), dan
disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yang turut
berbai’at pada sahabat.
Juga sebagaimana hadits qudsiy yang mana Allah berfirman : ”Barangsiapa memusuhi wali-
Ku sungguh Ku-umumkan perang kepadanya, tiadalah hamba-Ku mendekat kepada-Ku
dengan hal – hal yang fardhu, dan Hamba-Ku terus mendekat kepada-Ku dengan hal
– hal yang sunnah baginya hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya maka Aku
menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, dan menjadi matanya yang ia
gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memerangi, dan
kakinya yang ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada-Ku niscaya Ku-beri
permintaannya....” (Shahih Bukhari hadits No.6137)

Maka hadits Qudsiy diatas tentunya jelas – jelas menunjukkan bahwa pendengaran,
penglihatan, dan panca indera lainnya, bagi mereka yang taat pada Allah akan dilimpahi
cahaya kemegahan Allah, pertolongan Allah, kekuatan Allah, keberkahan Allah, dan sungguh
maknanya bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya.
Masalah ayat atau hadist tasybih (tangan atau wajah) dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat
dalam menafsirkannya.
1. Pendapat Tafwidh Ma’a tanzih
2. Pendapat Ta’wil

II.1.1. Madzhab Tafwidh Ma’a Tanzih
Madzhab Tafwidh Ma’a Tanzih yaitu mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya
kepada Allah swt, dengan I’tiqad Tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan)
Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu’minu
biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dengan hal itu, dan
membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yang
juga dipegang oleh Imam Abu Hanifah.
Dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh tapi
menyerupakan Allah dengan mahluk, bukan seperti para Imam yang memegang madzhab
tafwidh.

II.1.2. Madzhab Takwil
Madzhab Takwil yaitu menakwilkan ayat atau hadist tasybih sesuai dengan ke-Esaan dan
Keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat
penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin
umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari, Imam Nawawi dll. (Syarah Jauharat
Attauhid oleh Imam Baajuri)
Pendapat ini juga terdapat dalam Alqur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat,
tabiin dan imam - imam ahlussunnah waljamaah.
Seperti ayat : ”Nasuullaha fanasiahum” mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa
dengan mereka, (QS. At-taubah : 67), dan ayat : ”Innaa nasiinaakum” sungguh kami telah
lupa pada kalian, (QS. Assajdah : 14). Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa
kepada Allah walaupun tercantum dalam Alqur’an, dan kita tidak boleh mengatakan Allah
punya sifat lupa, tapi berbeda dengan sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman :
”dan tiadalah Tuhanmu itu lupa” (QS. Maryam : 64)
Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman : ”Wahai Keturunan
Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk-Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai
Allah, bagaimana aku menjenguk-Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah
menjawab : Bukankah kau tahu hamba-Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?,
tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih
Muslim hadits No.2569)

Apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita?
Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits qudsiy diatas dalam kitabnya yaitu Syarah
Nawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yang dimaksud sakit pada Allah adalah hamba-Nya,
dan kemuliaan serta kedekatan-Nya pada hamba-Nya itu. ”Wa ma’na wajadtaniy indahu
ya’niy wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu” dan makna ucapan : akan kau temui aku
disisinya adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawanan-Ku dengan menjenguknya
(Syarh Nawawi ala Shahih Muslim Juz 16 hal 125)
Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yang berpegang
pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy,
Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat Daf’ussyubhat Attasybiih oleh
Imam Ibn Jauziy).

Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah swt,
sebagaimana firman-Nya : ”Maha Suci Tuhan-Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan
dari apa – apa yang mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan
segala puji atas Tuhan sekalian alam” . (QS. Asshaffat : 180-182). Walillahittaufiq

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

Bismillahirahman rahim, segala puji bagi Allah Azza Wa Jalla, Tuhan seru
sekalian alam yang menyeru sekalian hati hamba-Nya untuk selalu turut serta dalam
samudera makrifat hingga tenggelam dalam kecintaan kepada-Nya. Shalawat
serta salam atas Al-Mustafa Sayyidina Muhammad saw jadilah abadi padanya,
keluarganya dan seluruh sahabatnya.
Telah banyak permintaan dari saudara-saudari kita untuk membahas lebih
lanjut seputar permasalahan khilafiyah semacam kegiatan Maulid, Tahlil, Ziarah
Kubur, Dzikir, Yassin dan beberapa hal ubudiyah lainnya yang menurut sebahagian
dari saudara kita dipungkiri kebenarannya.
Buku yang diberi judul “Kenalilah Akidahmu 2”. Pada akhirnya adalah
kewajiban bagi kita untuk selalu menyeru dan menyeru atas mereka siapapun
mereka selama mereka keturunan Adam as untuk terus mengenal indahnya
keagungan islam sebagai akhlaq, pedoman hidup dan aqidah. wallahu a’lam.
Dengan segala kerendahan hati, saya berharap agar kehadiran buku ini turut
serta memperkaya khazanah keislaman kita.
Walillahitaufiq,
(Habib Munzir Almusawa)